Gemalto, perusahaan keamanan digital dan produsen kartu SIM milik Perancis dan Belanda, akhir bulan lalu mengungkapkan kabar mengejutkan bahwa Badan Intelijen Amerika dan Inggris diduga telah menghack jaringan miliknya dalam upaya keduanya untuk memperbesar akses komunikasi ponsel di seluruh dunia.
Kabar yang dilansir The New York Times itu juga menyebutkan bahwa serangan-serangan tersebut terjadi dalam kurun waktu 2 tahun, yang dimulai sejak 2010. Namun Gemalto mengklaim, National Security Agency (NSA), badan intelijen Amerika Serikat dan Government Communications Headquarters (GCHQ), gagal menembus kode enkripsi kartu SIM Gelmato yang tersebar di seluruh dunia.
Gemalto adalah pembuat kartu SIM terbesar di dunia. Kemampuan jaringan yang dimilikinya dapat memberikan akses bagi NSA dan GCHQ untuk mengumpulkan semua komunikasi data dan komunikasi suara seluruh kartu SIM di seluruh dunia, tanpa seijin dari pemerintah lokasi kartu SIM itu berada atau seijin operator seluler.
Tindakan hacking ini pertama kali dilaporkan sebelumnya oleh sebuah website: The Intercept, berdasarkan dokumen-dokumen dari tahun 2010 yang disediakan oleh Edward J. Snowden, mantan kontraktor N.S.A, dimana kebocoran dokumen-dokumen NSA telah memicu perdebatan tentang pembatasan kegiatan memata-matai yang dilakukan pemerintah AS.
Bocornya dokumen-dokumen dari Edward J. Snowden mengindikasikan bahwa jutaan kartu SIM telah dihack. GCHQ menolak memberikan tanggapan atas dugaan penyadapan ini, begitu pula dengan NSA yang tak merespon banyaknya pertanyaan yang ditujukan kepada badan keamanan AS tersebut.
Selain kartu SIM operator seluler, beberapa perusahaan-perusahaan teknologi besar di dunia, termasuk diantaranya Google dan Facebook, juga tak luput dari "penjarahan" data dan aktivitas pengguna. Penyadapan aktivitas komunikasi online pengguna di seluruh dunia telah memicu gelombang kritik tentang kekhawatiran seberapa besar data yang sudah dilihat dari tindakan berlebihan badan keamanan AS dan Inggris ini.
Gemalto menyatakan bahwa ekripsi kartu SIM dan data-data lain dari pelanggan tidak tersimpan di jaringan Gemalto yang merupakan target serangan, dan mengklaim telah mengupgrade software keamanan internal mereka sejak tahun 2010, untuk membatasi akibat yang ditimbulkan dari berulangnya tindakan penyadapan.
Target penyadapan oleh Badan intelijen Amerika Serikat dan Inggris diduga ditujukan kepada kartu SIM di negara-negara yang selama ini menjadi "hotspot" mereka seperti Afghanistan, Iran, Yaman, dan beberapa Negara lain yang masih menggunakan kartu SIM versi 2G. Menurut Gemalto, teknologi keamanan kartu SIM di wilayah-wilayah ini tidak memiliki perlindungan keamanan yang sama dengan kartu SIM yang digunakan di negara-negara barat.
Jika kunci enkripsi kartu SIM 2G telah disadap oleh badan-badan intelijen tersebut, menurut Gemalto, secara teknis memungkinkan mereka memata-matai segala komunikasi ketika kartu SIM itu digunakan di telepon seluler.
Sumber, Tags :
tabloidpulsa, Sadap, security, digital, internet, network, 2G, SIM, online
Kabar yang dilansir The New York Times itu juga menyebutkan bahwa serangan-serangan tersebut terjadi dalam kurun waktu 2 tahun, yang dimulai sejak 2010. Namun Gemalto mengklaim, National Security Agency (NSA), badan intelijen Amerika Serikat dan Government Communications Headquarters (GCHQ), gagal menembus kode enkripsi kartu SIM Gelmato yang tersebar di seluruh dunia.
Gemalto adalah pembuat kartu SIM terbesar di dunia. Kemampuan jaringan yang dimilikinya dapat memberikan akses bagi NSA dan GCHQ untuk mengumpulkan semua komunikasi data dan komunikasi suara seluruh kartu SIM di seluruh dunia, tanpa seijin dari pemerintah lokasi kartu SIM itu berada atau seijin operator seluler.
Tindakan hacking ini pertama kali dilaporkan sebelumnya oleh sebuah website: The Intercept, berdasarkan dokumen-dokumen dari tahun 2010 yang disediakan oleh Edward J. Snowden, mantan kontraktor N.S.A, dimana kebocoran dokumen-dokumen NSA telah memicu perdebatan tentang pembatasan kegiatan memata-matai yang dilakukan pemerintah AS.
Bocornya dokumen-dokumen dari Edward J. Snowden mengindikasikan bahwa jutaan kartu SIM telah dihack. GCHQ menolak memberikan tanggapan atas dugaan penyadapan ini, begitu pula dengan NSA yang tak merespon banyaknya pertanyaan yang ditujukan kepada badan keamanan AS tersebut.
Selain kartu SIM operator seluler, beberapa perusahaan-perusahaan teknologi besar di dunia, termasuk diantaranya Google dan Facebook, juga tak luput dari "penjarahan" data dan aktivitas pengguna. Penyadapan aktivitas komunikasi online pengguna di seluruh dunia telah memicu gelombang kritik tentang kekhawatiran seberapa besar data yang sudah dilihat dari tindakan berlebihan badan keamanan AS dan Inggris ini.
Gemalto menyatakan bahwa ekripsi kartu SIM dan data-data lain dari pelanggan tidak tersimpan di jaringan Gemalto yang merupakan target serangan, dan mengklaim telah mengupgrade software keamanan internal mereka sejak tahun 2010, untuk membatasi akibat yang ditimbulkan dari berulangnya tindakan penyadapan.
Target penyadapan oleh Badan intelijen Amerika Serikat dan Inggris diduga ditujukan kepada kartu SIM di negara-negara yang selama ini menjadi "hotspot" mereka seperti Afghanistan, Iran, Yaman, dan beberapa Negara lain yang masih menggunakan kartu SIM versi 2G. Menurut Gemalto, teknologi keamanan kartu SIM di wilayah-wilayah ini tidak memiliki perlindungan keamanan yang sama dengan kartu SIM yang digunakan di negara-negara barat.
Jika kunci enkripsi kartu SIM 2G telah disadap oleh badan-badan intelijen tersebut, menurut Gemalto, secara teknis memungkinkan mereka memata-matai segala komunikasi ketika kartu SIM itu digunakan di telepon seluler.
Sumber, Tags :
tabloidpulsa, Sadap, security, digital, internet, network, 2G, SIM, online
Jika Ada Yang Kurang Mohon Dikoreksi di Kolom Komentar..
(Auto Approve)